GEOLOGI DASAR 08 TEKTONIC LEMPENG DAN GEMPA BUMI



TEKTONIK LEMPENG

          Teori yang mengatakan bahwa kerak-kerak bumi tidak bersifat permanen, tetapi bergerak-gerak secara mengapung, mulai diperkenalkan pada awal abad 20. Setelah melalui berbagai perdebatan yang sengit selama beberapa tahun, ide atau teori ini ditolak oleh sebagian besar ahli ilmu bumi. Tetapi, selama periode tahun 1950-an sampai 1960-an banyak bukti-bukti yang ditemukan oleh para peneliti yang mendukung teori tersebut, sehingga teori yang sudah pernah ditinggalkan ini menjadi pembicaraan lagi atau mulai diperhatikan lagi. Pada tahun 1968 teori tentang kontinen mengapung ini telah diterima secara luas, dan selanjutnya disebut Teori Tektonik Lempeng (“Plate Tectonics”).

Pengapungan Kontinen : Sebuah Ide Tentang Masa Lalu

          Pada tahun 1912, Alferd Wegener, seorang ahli klimatologi dan geofisika, menerbitkan bukunya yang berjudul “The Origin of Continents and Oceans”. Pada bukunya ini Wegener mengemukakan empat teori dasar yang berhubungan dengan hipotesis radikalnya tentang Pengapungan Kontinen. Salah satu dalilnya mengatakan bahwa dulunya ada sebuah superkontinen yang kemudian disebut “Pangea” (berarti benua secara keseluruhan), berada dalam satu kesatuan. Kemudian dia menghipotesis bahwa sekitar 200 juta tahun yang lalu superkontinen ini mulai terpecah-pecah menjadi kontinen-kontinen yang lebih kecil, yang kemudian berpindah secara mengapung dan menempati posisinya seperti sekarang ini. Wegener dan kawan-kawanya yang sependapat dengan teori ini, kemudian mengumpulkan sejumlah bukti untuk mendukung pendapatnya. Bukti-bukti tersebut adalah adanya kesesuaian antara Amerika Selatan dan Afrika, baik dari segi paleoklimatik, fosil, maupun struktur batuan, yang kesemuanya menunjukkan bahwa kedua benua tersebut pernah menjadi satu.

 

Kesesuaian Kontinen

          Bukti yang paling kuat tentang adanya kesesuaian antara Amerika Selatan dan Afrika telah dikemukakan oleh Sir Edward Bullard dan kawan-kawanya pada tahun 1960-an. Bukti tersebut berupa peta yang digambar dengan menggunakan bantuan komputer, dimana datanya diambil dari kedalaman 900 meter di bawah muka air laut.

 

Bukti-bukti Fosil

          Fosil-fosil yang diajukan oleh Wegener untuk mendukung teorinya, adalah :

Ø Fosil tumbuhan “Glassopteria” yang ditemukan menyebar secara luas di benua-benua bagian Selatan, seperti Afrika, Australia dan Amerika Selatan. Fosil ini berumur Mesozoikum. Fosil tersebut kemudian ditemukan juga di benua Antartika.

Ø Fosil reptil “Mesosaurus” yang ditemukan di Amerika Selatan Bagian timur dan Afrika bagian Barat.


BACA JUGA YA GEOLOGI DASAR SERI 1 2 3 4 5 6 7


Kesamaan Tipe dan Struktur Batuan

          Contoh kesamaan batuan yang ditemukan adalah : Busur Pegunungan Appalachian yang berarah timur laut dan memanjang  sampai ke bagian timur Amerika Serikat, yang tiba-tiba menghilang di bagian pantai Newfoundland. Pegunungan yang mempunyai umur dan struktur yang sama dengan pegunungan di atas, ditemukan di Greendland dan Eropa Utara. Jika kedua benua tersebut (Amerika dan Eropa) disatukan kembali, maka pegunungan di atas juga akan bersatu menjadi satu rangkaian pegunungan.

 

Bukti Paleoklimatik

          Dari hasil penelitiannya, Wegener menemukan bahwa pada Akhir Paleozoikum, sebagian besar daerah di belahan bumi bagian selatan telah ditutupi oleh lempengan-lempengan es yang tebal. Daerah-daerah tersebut adalah Afrika bagian Selatan, Amerika Selatan, India dan Australia.

          Wegener juga menemukan bukti bahwa pada saat yang sama (Paleozoikum Akhir), daerah-daerah sekitar 30o di dekat khatulistiwa yang beriklim tropis dan subtropis juga ditutupi oleh es.

          Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut, maka Wegener menyimpulkan bahwa dulunya secara keseluruhan daerah di bagian selatan bumi telah ditutupi oleh lapisan es. Kemudian secara perlahan-lahan sebagian massa benua di bagian tersebut bergerak ke arah utara, yaitu ke arah khatulistiwa. Hal ini terbukti karena adanya lapisan es yang ditemukan di daerah sekitar khatulstiwa tersebut. Wegener menyimpulkan hal ini, karena secara logis tidak mungkin terbentuk lapisan es yang luas dan tebal di daerah khatulistiwa, yang diketahui beriklim tropis dan subtropis. 

 

Pertentangan Pendapat

          Sejak tahun 1924 hingga tahun 1930 banyak kritikan yang diajukan oleh para ahli untuk menentang teori yang dikemukakan oleh Wegener. Salah satu keberatan yang paling utama tentang teori ini adalah tidak mampunya Wegener untuk menjelaskan atau menggambarkan bagaimana mekanisme dari proses pengapungan kontinen ini. Untuk menjawab kritikan ini, Wegener mengajukan dua usulan tentang kemungkinan sumber energi yang menjadi penyebab terjadinya pengapungan. Salah satunya adalah proses pasang-surut, yang oleh Wegener dianggap mampu untuk menyebabkan terjadinya pergerakan pada kontinen. Tetapi, seorang ahli fisika yang bernama Harold Jeffreys dengan cepat menentang argumen tersebut, dengan mengajukan alasan bahwa pergeseran pasang-surut yang besar yang diperlukan untuk memindahkan tempatkan kontinen, tentu saja akan menyebabkan terhentinya proses rotasi bumi hanya dalam beberapa tahun saja.

          Kemudian Wegener juga mengajukan usulan kedua, yaitu bahwa sebuah kontinen yang besar dan luas akan mampu untuk memecahkan lempeng samudera menjadi pecahan-pecahan yang lebih kecil, seperti es yang terpotong-potong. Tetapi, tidak ada bukti yang memuaskan yang mampu untuk menjelaskan apakah kerak atau lantai samudera cukup lemah untuk mampu dipecah oleh kontinen, tanpa menyebabkan terjadinya deformasi pada kontinen maupun lempeng samudera itu sendiri. Sampai tahun 1929, kritikan-kritikan yang diterima oleh Wegener sudah sangat gencar dan datang dari berbagai ahli di berbagai tempat. Untuk menjawab serangan kritikan ini, Wegener menyelesaikan edisi keempat sekaligus edisi terakhir dari bukunya, yang secara khusus memuat dasar-dasar hipotesisnya yang ditambah dengan berbagai bukti untuk mendukung hipotesis tersebut.

 

Tektonik Lempeng : Sebuah Versi Modern Dari Ide Yang Lama

          Beberapa tahun setelah Wegener mengajukan teorinya, mengenai perkembangan teknologi yang pesat menyebabkan mampunya dilakukan pemetaan pada lantai samudera, serta ditemukannya data-data yang banyak tentang aktivitas seismik dan medan magnit bumi. Sampai tahun 1968, perkembangan teknologi ini sedemikian pesatnya, hingga pada saat itu dikemukakan sebuah teori yang lebih memuaskan daripada teori pengapungan kontinen. Teori ini kemudian dinamakan Teori Tektonik Lempeng.

          Teori ini menyatakan bahwa bagian luar dari bumi, yaitu pada bagian litosfer, terdapat sekitar 20 segmen yang padat yang dinamakan lempeng. Dari semua itu, yang terbesar adalah lempeng Pasifik, yang menempati sebagian besar lautan, kecuali pada sebagian kecil dari Amerika Utara yang meliputi Kalifornia bagian Baratdaya dan Semenanjung Baja. Semua lempeng besar lainnya dapat berupa kerak-kerak kontinen maupun kerak samudera. Sedang lempeng-lempeng yang lebih kecil umumnya hanya sebagai kerak samudera, contohnya lempeng Nazca yang terdapat di lepas pantai Barat Amerika Selatan.

          Litosfer terletak di atas zona atau material yang lebih lemah dan lebih panas, yang disebut astenosfer. Dengan demikian, lempeng-lempeng litosfer yang sifatnya padat dilapisbawahi oleh material yang lebih “plastis”. Nampaknya ada hubungan antara ketebalan dari lempeng-lempeng litosfer dengan sifat dari material kerak yang menutupinya. Lempeng-lempeng samudera sifatnya lebih tipis, dengan variasi ketebalan antara 80 sampai 100 km atau lempeng atau blok kontinen mempunyai ketebalan 100 km atau lebih, bahkan pada beberapa daerah dapat mencapai 400 km.

          Salah satu prinsip utama dari teori tektonik lempeng adalah bahwa setiap lempeng bergerak-gerak sebagai satu unit terhadap unit lempeng lainnya. Jika sebuah lempeng bergerak, maka jarak antara dua kota yang berada dalam satu lempeng, seperti New York dan Denver, akan tetap sama, sedangkan jarak antara New York dan London yang berada pada dua lempeng yang berbeda, akan berubah. Karena setiap lempeng bergerak sebagai satu unit, maka banyak interaksi yang dapat terjadi antara satu lempeng dengan lempeng lainnya di sepanjang batas-batas dari lempeng-lempeng tersebut. Berdasarkan hal inilah, maka sebagian besar aktivitas seismik, volkanisma dan pembentukan pegunungan terjadi di sepanjang batas-batas yang dinamis tersebut.

 

Batas-Batas Lempeng

          Ada tiga tipe batas-batas lempeng, yang masing-masing dibedakan dari jenis pergerakannya, yaitu :

1.     Batas-batas divergen, dimana lempeng-lempeng bergerak saling menjauh, yang   menyebabkan naiknya material dari mantel bumi dan membentuk lantai samudera yang luas.

2.     Batas-batas konvergen, dimana lempeng-lempeng bergerak saling mendekati,      yang menyebabkan salah satu dari lempeng tersebut masuk ke mantel bumi dan      berada di bawah lempeng lainnya.

3.     Batas-batas patahan transform, dimana lempeng-lempeng bergerak saling          bergesekan tanpa menyebabkan terjadinya penghancuran pada litisfer.

 

Batas-batas Divergen

          Batas-batas divergen bisa ditemukan di daerah punggungan samudera. Di daerah ini, pada saat lempeng bergerak saling menjauh dari sumbu punggungan, maka celah yang timbul akan diisi dengan cepat oleh magma yang naik dari astenosfer. Material ini akan menjadi dingin secara perlahan-lahan dan membentuk lantai samudera yang baru. Mekanisme ini, yang menyebabkan terbentuknya lantai atau dasar dari Lautan Atlantik sekitar 165 juta tahun yang lalu, disebut Pemekaran lantai samudera. Tingkat pemekaran di daerah punggungan samudera ini diestimasikan sekitar 2 sampai 10 cm pertahun, dan rata-rata 6 cm (2 ichi) pertahun. Karena batuan yang baru terbentuk jumlahnya sama di kedua sisi dari lempeng yang saling menjauh, maka tingkat pertumbuhan dari lantai samudera adalah dua kali dari nilai tingkat pemekaran.

          Jika pusat pemekaran terdapat atau terjadi di lempeng kontinen, maka kontinen akan terpecah-pecah menjadi segmen-segmen yang lebih kecil. Fragmentasi dari kontinen ini disebabkan oleh adanya pergerakan ke arah atas dari batuan yang panas (magma) yang berada di bawah. Akibat dari aktivitas ini adalah melengkungnya kerak kontinen ke arah atas di bagian yang diintrusi tersebut. Hal ini disertai dengan timbulnya retakan-retakan di bagian tersebut. Kemudian bagian litosfer yang terpecah-pecah tersebut akan tertarik secara leteral ke arah yang berlawanan. Selanjutnya bagian yang pecah-pecah tersebut akan jatuh dengan gerakan menggelincir. Lembah patahan turun yang bersekala besar yang disebabkan oleh proses di atas, selanjutnya disebut Celah atau lembah celah.

 

Batas-batas Konvergen

          Telah diketahui bahwa pada proses pemekaran akan terbentuk litosfer yang baru, sedangkan luas total permukaan bumi haruslah tetap konstan, dengan demikian pada bagian lain dari bumi pastikah ada litosfer yang rusak atau hilang. Bagian tersebut adalah bagian konvergen atau daerah pertemuan lempeng. Jika dua lempeng saling bertabrakan / bertumbukan, maka bagian ujung dari salah satu lempeng tersebut akan bergerak ke arah bawah dari lempeng lainnya. Bagian lempeng yang di bawah ini akan masuk ke daerah astenosfer, akibatnya bagian tersebut akan menjadi panas dan hilang rigiditasnya. Bergantung pada besarnya sudut kemiringan bagian yang lengkung ke bawah tersebut, maka kedalaman penyusupannya bisa mencapai 700 km, sebelum bagian ini betul-betul terasimilasi dengan material mantel atas (astenosfer).

          Tumbukan bisa terjadi antara dua lempeng samudera, satu lempeng samudera dan satu lempeng kontinen, atau dua lempeng kontinen. Jika terjadi tumbukan antara lempeng kontinen dan lempeng samudera, maka lempeng kontinen yang kecil densitasnya akan berada di bagian atas, sedangkan lempeng samudera yang lebih besar densitasnya akan menyusup ke bawah bagian astenosfer. Daerah dimana proses ini terjadi disebut zona subdaksi. Karena lempeng samudera menyusup ke arah bawah, maka lempeng ini akan melengkung dan selanjutnya membentuk palung laut dalam (trench) yang berbatasan dengan zona subdaksi tersebut. Palung-palung yang terbentuk di daerah ini bisa mencapai panjang ribuan kilometer, sedang dalamnya antara 8 sampai 11 km.

 

 

Tumbukan Kontinen-Samudera

          Sudut kemiringan lempeng samudera yang menyusup ke dalam astenosfer umumnya sebesar 45o atau lebih. Lempeng samudera ini, bersama-sama dengan material sedimen serta cairan-cairan yang dikandungnya, akan larut dan bersatu dengan cairan astenosfer yang panas. Magma baru yang terbentuk dari proses ini densitasnya lebih kecil daripada densitas material disekitarnya, yaitu densitas penyusun mantel bumi, konsekuensinya, jika jumlah magma baru ini sudah jenu, maka magma tersebut akan naik secara perlahan. Sebagian besar magma yang naik ini akan sampai ke bagian atas dari kerak kontinen, dimana dia akan menjadi dingin dan terkristalisasi pada kedalaman beberapa kilometer. Sedangkan sebagian sisanya akan termigrasi ke permukaan dan kadang-kadang membentuk erupsi volkanik yang eksplosif. Pegunungan volkanik Andes merupakan pegunungan yang terbentuk dari proses ini, dimana Lempeng Nazca mengalami peleburan pada saat menunjam di bawah Lempeng Kontinen Amerika Selatan. Tingginya frekuensi gempa bumi di daerah Andes, merupakan bukti dari proses tersebut.

Pegunungan seperti Andes yang terbentuk akibat asosiasi aktifitas volkanik dengan proses subdaksi, disebut busur volkanik.

 

Tumbukan Samudera-Samudera

          Pada saat dua buah lempeng samudera saling bertumbukan, maka salah satunya akan menunjam di bawah yang lain, yang juga akan diikuti oleh terjadinya aktivitas volkanik, seperti pada tumbukan kontinen-samudera. Tetapi, dalam kasus ini volkanisma akan terjadi di lantai samudera, bukan di daerah kontinen. Jika aktivitas volkanik ini terjadi terus menerus, maka sebuah benua baru akan muncul dari laut dalam. Pada tahap awal dari proses ini, benua baru yang terbentuk tersebut akan terdiri atas jajaran kepulauan volkanik yang kecil, yang disebut busur kepulauan. Busur kepulauan ini umumnya berlokasi sekitar beberapa ratus kilometer dari palung laut dalam, dimana aktivitas subdaksi sedang terjadi.

 

Tumbukan Kontinen-Kontinen

          Tumbukan antara lempeng kontinen dengan kontinen dapat diambil contoh tumbukan antara Lempeng India yang membentur Asia, dan membentuk Pegunungan Himalaya, yang merupakan pegunungan yang terbesar dan terluas di dunia. Pada saat terjadi tumbukan seperti ini, maka lempeng kontinen akan tertekuk, terpecah-pecah dan umumnya menjadi lebih pendek.  

Patahan Transform

Tipe ketiga dari batas-batas lempeng adalah patahan transform, dimana lempeng-lempeng saling bergesekan satu dengan yang lain tanpa menyebabkan terbentuknya lempeng/kerak yang baru, seperti yang terjadi pada pemekaran punggungan samudera, serta juga tidak mengakibatkan rusaknya lempeng, seperti yang terjadi pada zona subdaksi.

Istilah patahan transform ini pertama kali diusulkan oleh J. Tuzo Wilson dari University of Toronto, pada tahun 1965. Wilson mengatakan bahwa patahan normal ini, bersama-sama dengan proses konvergen dan divergen, merupakan suatu rangkaian proses kontinyu yang membagi-bagi selubung luar bumi menjadi beberapa lempeng padat yang terpisah-pisah.

Wilson memberikan istilah yang khusus pada patahan ini, yaitu patahan transform, karena pergerakan relatif dari lempeng-lempeng tersebut dapat berubah atau tertransformasi satu sama lainnya. Seperti telah diperhatikan atau dijelaskan pada contoh terdahulu, bahwa proses divergen yang terjadi pada pusat pemekaran dapat berubah/tertransformasi menjadi proses konvergen di zona subdaksi.

Sebagian besar patahan transform terjadi di kerak samudera, tetapi ada juga sedikit yang terjadi di kerak kontinen, seperti di Patahan San Andreas di Kalifornia.

 

Pangea : Sebelum dan Sesudah

Robert Dietz dan John Holden telah mencoba untuk merekonstruksi bagaimana keadaan sebenarnya dari migrasi besar-besaran yang pernah dialami oleh individu-individu kontinen, selama lebih dari 500 juta tahun. Dengan mengekstrapolasikan kembali pergeraekn lempeng, yang dihubungkan dengan perjalanan waktu, dan dibantuk oleh data-data seperti orientasi struktur volkanik, distrubusi dan pergerakan transform, serta paleomagnetisme, Dietz dan Holden telah mampu untuk merekonstruksi Pangea. Dengan menggunakan data penanggalan radiometri, kedua ahli ini juga dapat menentukan kapan Pangea ini mulai terbentuk dan kapan mulai terpecah. Kemudian berdasarkan data-data posisi relatif dari hot spot, maka juga dapat menentukan lokasi yang tepat dari setiap kontinen.

Terpecah-pecahnya Pangea

Pangea mulai terpecah sekitar 200 juta tahun yang lalu, dimana terjadi fragmentasi yang diikuti oleh jalur-jalur pergerakan dari setiap kontinen dan terdapt dua buah celah besar yang terjadi akibat fragmentasi ini. Celah antara Amerika Utara dan Afrika menyebabkan munculnya batuan basal yang berumur Trias secara besar-besaran disepanjang Pantai Timur Amerika Serikat. Penanggalan radiometri pada basal ini menunjukkan bahwa celah tersebut antara 200 sampai 165 juta tahun yang lalu. Waktu ini sekaligus bisa digunakan sebagai waktu terbentuknya Atlantik Utara. Celah yang terbentuk di bagian selatan Gondwana berbentuk hurup Y, yang menyebabkan termigrasinya Lempeng India ke bagian Utara dan sekaligus memisahkan Amerika Selatan – Afrika dari Australia – Antartika.

Sekitar 135 juta tahun yang lalu, posisi kontinen Afrika dan Amerika Selatan mulai memisah dari Atlantik Selatan. Pada saat ini India sudah berada separuh jalan menuju ke Asia, dan bagian selatan dari Atlantik Utara telah mulai melebar. Pada Kapur Akhir, sekitar 65 juta tahun yang lalu, Madagaskar telah terpisah dari Afrika, dan Atlantik Selatan berubah menjadi laut terbuka.

Sekitar 45 juta tahun yang lalu, India telah bersatu dengan Asia, yang kemudian menyebabkan terbentuknya pegunungan tertinggi di dunia, yaitu Himalaya, yang tersebar di sepanjang Dataran Tinggi Tibet. Kemudian terjadi pemisahan Greendland dari Eurasia, yang bersamaan juga terjadi pembentukan Semenanjung Baja dan Teluk Kalifornia. Peristiwa tersebut ditaksi terjadi kurang dari 10 juta tahun yang lalu.

 

Sebelum Pangea

Sebelum Pangea terbentuk, massa-massa benua mungkin telah mengalami berbagai episode fragmentasi yang sama dengan yang telah kita ketahui sekarang. Kontinen-kontinen purba tersebut dulu telah bergerak saling menjauh satu dengan yang lainnya. Selama periode antara 500 sampai 225 juta tahun yang lalu, fragmen-fragmen yang sebelumnya telah menyebar, mulai bersatu membentuk Pangea. Bukti dari adanya tumbukan awal ini meliputi Pegunungan Ural di Uni Soviet dan Pegunungan Appalacian di Amerika Utara.

 

Pandangan ke Masa Depan

Setelah membuat rekonstruksi keadaan dunia sekitar 500 juta tahun yang lalu, Dietz dan Holden kemudian mencoba untuk memprediksi keadaan bumi di masa depan. Pada 50 juta tahun yang akan datang, perubahan penting terjadi pada Lempeng Afrika, dimana sebuah lautan yang baru akan terbentuk akibat Afrika bagian timur terpisah dari benua utama. Di Amerika Utara terlihat bahwa Semenanjung Baja dan bagian selatan Kalifornia yang terletak di sebelah barat Sesar San Andreas, telah tergeser melewati Lempeng Amerika Utara tersebut. Jika pergerakan ke arah utara ini, betul-betul terjadi sesuai yang diprediksi, maka Los Angeles dan San Francisco akan saling melewati satu sama lain.  

 

Mekanisme Pergerakan

Distribusi panas yang tidak merata yang terdapat di dalam bumi, telah disepakati oleh para ahli, sebagai penyebab utama terjadinya pergerakan lempeng. Distribusi panas tidak merata inilah yang menyebabkan terjadinya arus konveksi yang besar dalam mantel bumi. Material yang panas dan lebih kecil densitasnya, yang berasal dari mantel bagian bawah, secara perlahan-lahan akan bergerak naik ke daerah pegunungan samudera. Pada saat material ini menyebar secara lateral, suhunya akan turun dan densitasnya bertambah, setelah itu material tersebut akan masuk kembali ke dalam mantel dan suhunya naik kembali. Dalam hal ini, batuan yang ada tidak perlu untuk mencair dulu agar dapat terbawa aliran. Analogi peristiwa ini bisa dilihat pada logam padat yang dimasukkan ke dalam cairan yang panas, dimana logam-logam tersebut berada pada berbagai bentuk yang berbeda-beda. Demikian juga halnya pada batuan yang berada dalam cairan panas. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa di daerah punggungan samudera tingkat aliran panasnya lebih tinggi dibandingkan daerah–daerah lain. Hal ini juga menunjukkan bahwa arus konveksi tidak hanya satu macam. Tetapi, jenis-jenisnya tersebut belum diketahui dengan jelas. Ada beberapa banyakkah sebenarnya tipe arus konveksi ini ? Pada kedalaman berapakah sebenarnya arus tersebut berada ? Bagaimanakah struktur yang sebenarnya ?

Telah diketahui lempeng samudera yang dingin mempunyai densitas yang lebih besar daripada astenosfer yang berada di bawahnya. Dengan demikian, pada saat lempeng samudera tersebut, tertunjam ke bawah, karena sifatnya yang berat, maka bagian belakang dari litosfer tersebut akan tertarik. Hipotesis ini sama dengan model yang beranggapan bahwa karena tingginya tempat/posisi dari punggungan samudera yang dapat menyebabkan litosfer tergelincir ke bawah akibat pengaruh gravitasi. Model tekan-tarik inilah yang dengan sendirinya merupakan tipe dari arus konveksi. Pada sisi lain, material astenosfer akan bergerak naik dan mengisi celah yang terbuka akibat proses divergen.

Versi lain dari model arus konveksi ini, menjelaskan bahwa arus tersebut berhubungan erat dengan bintik panas (hot spot) yang terjadi di daerah mantel. Bintik panas ini diperkirakan berasal dari daerah perbatasan antara mantel dan inti bumi. setelah bintik panas ini bergerak naik dan mencapai litosfer, maka bintik-bintik tersebut akab tersebar secara lateral dan membawa serta lempeng-lempeng menjauh dari pusat tempat dia naik.

 

GEMPA BUMI

 

Apa itu Gempa

           Gempa adalah getaran pada bumi yang ditimbulkan oleh pelepasan energi secara cepat. Energi tersebut terpancar ke segala arah dari sumbernya dalam bentuk gelombang, yang merambat seperti pada rambatan gelombang bunyi di udara ketika sebuah bel/lonceng dipukul, getaran merambat secara melingkar ke segala arah. Selama terjadi gempa bumi, dan untuk beberapa waktu kemudian, lukisan bumi seperti deringan lonceng (ringing like bell).

           Sumber dari gempa tersebut, berasal dari pelepasan energi yang dihasilkan oleh ledakan atomik (atomik explosions) atau oleh erupsi gunung api. Gempa juga disebabkan oleh interaksi dari lempeng yang berdekatan yang saling bergerak, strain dan perubahan bentuk dari batuan. Oleh sebab itu pada daerah batas lempeng sering terjadi gempa bumi.

           Pusat gempa bumi biasanya dibawah permukaan, sedang pusat gempa yang terdeteksi dipermukaan disebut “Epicenter”, yang dapat ditentukan dengan menggunakan alat seismogram dan grafik “travel-time”. Dengan alat seismogram (bagian dari alat seismographs yang berfungsi sebagai alat perekam, yang dapat memberikan informasi tentang karakteristik gelombang seismik), dapat diketahui kecepatan rambat gelombang P, dan gelombang S, yang kemudian diplot ke dalam grafik “travel-time”, dari kedua kurva diperoleh jarak pusat gempa di permukaan, atau jarak epicenter dari seismograph.

           Alat untuk mengukur / merekam gelombang gempa disebut seismograph.

Seismologi adalah ilmu yang mempelajari gelombang gempa bumi.

Gelombang gempa terbagi dua, yaitu :

1.     Gelombang permukaan (surface waves), yaitu gelombang yang merambat             sepanjang permukaan bumi.

2.     Gelombang yang menembus bagian dalam bumi (body waves), terbagi dua type :

-         Primary waves (P. waves)

-         Secondary waves (S. waves)

Kedua type tersebut dibedakan berdasarkan cara perambatan (penyebaran) menembus bumi. Gelombang P. menekan (compress) dan menarik (dilate) batuan dalam arah perambatannya. Penjelasan dari gelombang ini seperti penjalaran gelombang yang dihasilkan pita suara manusia, yang menjalar ke udara menuju “Transmit Sound”. Gelombang S. merambat tegak lurus arah getar partikelnya. Sedang gelombang S. hanya menyebabkan perubahan bentuk.

           Sarana mengukur kekuatan gempa bumi adalah skala Richter, dikemukakan oleh Charles Richter, 1935, seorang ahli pada California Institute of Technology, yang berusaha mengurut berdasarkan urutan tertinggi, gempa bumi yang terjadi di selatan California ke dalam golongan kuat, menengah dan lemah.

Tsunami atau gelombang seismik lau (“seimic sea waves”) adalah gelombang perusak yang lebih populer dengan sebutan gelombang pasang-surut (tidal waves), tetapi sebutan ini tidak tepat, karena gelombang ini bukan dihasilkan oleh efek pasang-surut dari bulan atau matahari.

Istilah tsunami diberikan oleh orang Jepang untuk gelombang seismik laut, yang akibatnya sangat dirasakan oleh mereka, istilah tsunami ini kemudian umum digunakan di dunia.

 

Bagian Dalam Bumi

           Berdasarkan data seismologi, bumi tersusun atas 4 bagian lapisan :

1.         Kulit bumi (crust), lapisan terluar yang sangat tipis.

2.         Selubung bumi (mantle), lapisan batuan yang terletak di bawah kulit bumi,           dengan ketebalan 2885 km (1789 mil).

3.         Inti luar (outer core), lapisan dengan ketebalan 2270 km (1407 mil), menunjukan karakteristik cairan (mobile liquid).

4.         Inti dalam (inner core), logam padat dengan jari-jari 1216 km (756 mil).

           Pada tahun 1909 seorang ahli seismologi Yugoslavia ANDRIJA MOHOROVICIC, menyajikan data/bukti yang meyakinkan untuk lapisan bumi, dengan mempelajari rekaman seismik, ia menemukan lapisan antara kerak dan mantel pada kedalaman 50 kilometer, yang kemudian dikenal dengan nama Mohorovicic discontinus.

           Beberapa tahun kemudian seorang seismologi Jerman bernama Beno Guetenberg menemukan batas yang besar dari penelitannya dengan menggunakan gelombang P. yang diberi nama zona bayangan (shadow zone).

           Asthenosphere merupakan lapisan yang penting yang terletak pada selubung bagian atas (upper mantle), yang terletak pada kedalaman antara 70 km sampai 700 km, merupakan zona yang tersusun oleh bagian-bagian leburan batuan (kira-kira 10%), diatas asthenosphere yang meliputi bagian atas selubung dan kerak bumi.

 

 

 

Komposisi Dari Bumi

           Kerak bumi mempunyai ketebalan bervariasi antara 70 kilometer pada beberapa gunung dan kurang dari 5 kilometer pada laut, dari data seismik diketahui kerak bumi tersusun batuan granitik (continental crust), sedangkan oceanic crust tersusun oleh batuan yang berkomposisi basaltik.

           Komposisi selubung dan inti belum dapat dipastikan, dan berdasarkan komposisi meteor yang jatuh ke bumi tersusun dari tipe logam, terdiri dari besi dan nikel.

 

Klasifikasi Gempa

           Ada tiga penyebab utama dari suatu gempa bumi dan atas dasar itu pulalah gempa bumi diklasifikasikan menjadi beberapa macam, yaitu Tektonik, Vulkanik, Runtuhan dan Buatan.

 

Gempa Tektonik

Gempa tektonik adalah gempa bumi yang terjadi karena pergeseran kerak bumi, atau dengan kata lain yang berhubungan dengan peristiwa tektonik. Dari sekian banyak peristiwa tektonik, yang paling banyak menghasilkan gempa adalah tektonik yang mengakibatkan dislokasi/displacement atau yang kita kenal dengan nama patahan (dis = terpisah, locus = tempat). Karena itulah maka sering pula disebut gempa dislokasi.

Pergeseran kerak bumi di sepanjang bidang patahan menimbulkan goncangan yang kemudian merambat melalui permukaan bumi, goncangan akan membinasakan semua yang tidak tahan menahan goncangan tersebut. Dibeberapa tempat goncangan yang begitu hebatnya menghasilkan jurang dalam dan lebar.

Gempa tektonik merupakan gempa yang paling dasyat, meluas dan banyak merusak serta paling sering terjadi. Sekitar 93% dari semua gempa yang tercatat di seluruh dunia, tergolong gempa tertonik.

 

Gempa vulkanik

            Gempa vulkanik adalah gempa bumi yang terjadi karena aktivitas vulanisme, baik sebelum, sedang atau sesudah letusan.

Magma yang keluar lewat pipa-pipa gunung api bergeser dengan batuan penyusun gunung api, getarannya diteruskan kemana-mana lewat materi yang menyusun kerak bumi. itulah sebabnya sebelum terjadi letusan gunung api terasa adanya gempa bumi terlebih dahulu. Dan karena itulah maka aktivitas vulkanisme dapat diramalkan sebagai salah satu gejala dari aktivitas gunung api.

Demikian juga ketika terjadi letusan, materi-materi besar kecil, berupa gas, cair maupun padat dihempaskan keluar, sedang getarannya akan merambat di dalam batuan ke segala arah menimbulkan gempa bumi di daerah sekitarnya.

Umumnya gempa vulkanik tidak begitu hebat, dan daerahnya terbatas sekitar gunung api saja. Hanya sekitar 7% dari seluruh gempa yang tercatat di seluruh dunia.

 

Gempa Terban/Runtuhan 

            Gempa terban adalah gempa yang disebabkan oleh adanya runtuhan, termasuk di dalamnya adalah Rock fall/longsor, atap gua bawah tanah runtuh (biasanya di daerah kapur), ataupun runtuhan di dalam lubang tambang. Goncangannya tidak begitu hebat dan daerahnya sangat terbatas hanya sekitar 1 hingga 2 meter.

Karena itu dalam pembagian persentase gempa bumi yang tercatat di seluruh dunia, gempa semacam ini dianggap kecil, sehingga dianggap tidak ada. Akan tetapi tidak berarti bahwa gempa ini tidak pernah terjadi.

 

Gempa Buatan

            Yang dimaksud dengan gempa buatan adalah getaran bumi yang terjadi karena adanya aktivitas manusia dikulit bumi menyebabkan getaran yang cukup berarti.

Peledakan batuan, dalam proses pembuatan jalan tembus dipegunungan batu dengan menggunakan bahan peledak batu kokoh akan hancur. Bersamaan dengan itu pula terjadi goncangan di sekitarnya.

Demikian pula pada saat terjadi pemancangan paku bumi dalam  pembuatan tiang pancang beton, akan menimbulkan goncangan yang cukup jelas.

Daerah yang dipengaruhi oleh getaran buatan ini hanya sekitar 1 – 100 meter, sedangkan daerah yang lebih jauh lagi pada umumnya tidak merasakan getaran.

Namun demikian karena goncangannya tidak sehebat pada gempa tektonik, maka gempa buatan ini biasanya tidak membawa akibat yang serius dan tidak membahayakan.

 

Pengukuran Kekuatan Gempa

Gempa yang terjadi akibat pergerakan lempeng tektonik pada umumnya lebih berbahaya dibandingkan dengan gempa vulkanik, tanah longsor maupun buatan. Tingkatan besar kecilnya gempa dapat dihitung melalui besarnya simpangan jarum yang dipasang pada alat pencatat melalui besarnya simpangan jarum yang dipasang pada alat pencatat gempa (seismograf). Satuan besaran gempa biasanya dipergunakan skala Richter.

Berdasarkan kedalamannya terjadinya gempa, maka gempa bumi dapat diklasifikasikan menjadi dangkal, sedang dan dalam. Berdasarkan hal ini, dapat dijelaskan bahwa para pakar menentukan kriteria klasifikasi gempa berbeda antara pakar satu dengan lainnya.

Dasar penetapan kedalaman gempat antara Dobrein, Allison dan Lee Stokes tidak mempunyai argumentasi yang cukup kuat. Kegunaan klasifikasi tersebut tidak mempunyai implikasi terhadap perubahan-perubahan permukaan bumi. justru dari beberapa pengamatan menunjukan bahwa klasifikasi yang lebih penting adalah menentuan besar/kecilnya gempa serta jarak antara titik pusat gempa.

 

Tabel. Klasifikasi Gempa Menurut Kedalaman.

Kriteria

Kedalaman

Dobrein

Allison

Lee Stokes

Dangkal

< 70

< 60

< 100

Sedang

70 – 300

60 – 300

-

Dalam

> 300

> 300 - 700

> 100

 

Menurut Allison, gempa bumi terdalam yang pernah dikenal dalamnya hanya 720 km di rangkaian pulau-pulau Pasifik. Sekitara 85 – 90 % dari semua gempa berupa Gempa Dangkal, dan kebanyakan kurang dari 8 km dalamnya.

Kurangnya gempa yang dalam barangkali dapat dihubungkan dengan temperatur dan tekanan hidrostatika. Pergeseran-pergeseran kerak bumi yang menyebabkan terjadinya patahan, berkaitan dengan titik patah batuan.

Semakin tinggi temperatur dan tekanan hidrostatis, sifat batuan semakin lentur yang berarti titik patahnya juga akan bertambah besar. Dengan demikian tekanan yang bekerja pada batuan dapat dinetralisir oleh keplastisan batuan sehingga tidak terjadi patahan, mungkin hanya terjadi pembengkokan.

Dikaitkan dengan gradien geothermal, maka temperatur batuan di lapisan yang dalam semakin tinggi dan semakin besar menderita tekanan hidrostatis. Oleh karena itulah maka jarang terjadi pusat-pusat gempa di lapisan yang dalam.

Gempa dalam biasanya dijumpai di daerah perbatasan lempeng yaitu pada zona subduksi, dimana kerak bumi menjorok ke dalam disepanjang patahan transform.

Gempa bumi yang dihasilkan oleh pergeseran kerak bumi disepanjang patahan strike-slip fault, umumnya tergolong gempa dangkal. Hal tersebut ada kaitannya dengan pergeseran yang umum meliputi bagian atas saja dari kerak bumi.

Pusat gempa di dalam bumi bukanlah merupakan suatu titik melainkan lebih cenderung berupa garis atau daerah, yaitu sepanjang patahan dimana terjadi pergeseran kerak bumi. Pusat gempa tersebut dikenal dengan nama hiposentrum.

Tempat di permukaan bumi yang tegak lurus di atas hiposentrum disebut episentrum (Yunani; Hypo = di bawah, Epi = di atas).

Untuk menentukan letak suatu episentrum gempa, diperlukan catatan gempa bumi dari minimal 3 stasiun pencatat gempa bumi. Jarak stasiun ke spisentrum dapat dihitung dengan menggunakan hukum Laska, sebagai berikut :

 

Δ = [( S – P ) – r ] megameter

 

Dimana :

Δ  =       Delta, menunjukkan jarak ke episentrum.

S  =       Saat tibanya gelombang S pada Seismograf.

P  =       Saat tibanya gelombang P pada Seismograf.

R =       1 menit; 1 megameter = 1.000 km.

 

            Daerah di permukaan bumi yang paling parah menderita goncangan gempa adalah daerah yang berdekatan dengan episentrum.

    Agar mengetahui tata cara penggunaan informasi tentang gempa bumi, maka para pakar gempa telah membuat peta yang menunjukkan daerah yang rawan akan gempa bumi. Namun dalam penyajian peta, manggunakan istilah khusus sehingga sulit dimengerti oleh kebanyakan orang/ agar dapat membaca peta informasi gempa, maka kita harus mengenal beberapa istilah-istilah yang dipergunakan dalam peta gempa.

Isoseismik       =          yaitu garis pada peta yang menghubungkan daerah-daerah yang mengalami gempa sama besarnya.

Pleistoseismik =          yaitu garis pada peta yang menunjukkan daerah yang paling parah menderita goncangan gempa. Daerah tersebut terletak dalam garis isoseite I.

Homoseismik    =       yaitu daerah yang menerima getaran gempa pada waktu yang bersamaan.

 

Alat Pengukur Gempa

Ukuran gempa dapat ditunjukan dengan besarnya kekuatan, yang dikenal dengan istilah magnitud gempa, atau dengan menganalisa pengaruh gempa terhadap tingkat kerusakan yang disebut Intensitas gempa.

Skala magnitude yang sangat terkenal adalah Skala Richter, digunakan di seluruh dunia. Skala tersebut dibuat oleh Charles F. Richter pada tahun 1935.

Skalanya tidak mempunyai batasan atas dan bawah, sehingga dapat mencatat gempa yang sangat lemah dan yang sangat kuat. Selisih satu skala menunjukkan perbedaan amplitudo 10 kali dan perbedaan kekuatan sebesar 10 kali.

Meskipun tidak ada batas atasnya, namun ternyata gempa bumi yang tercatat belum ada yang melebihi angka 9,0 pada Skala Richter. Gempa terbesar yang pernah tercatat adalah Gempa Sauriko, Jepang, pada tahun 1933, dan Gempa Columbia tahun 1906, yang besarnya 8,9 pada Skala Richter.

Gempa yang berskala 7 ke atas sudah tergolong gempa kuat, sedang yang kurang dari 2 termasuk lemah. Gempa hebat yang magnitudonya 8 ke atas hanya terjadi sekitar 5 kali dalam jangka 10 tahun, sedang gempa lemah yang tidak terasa oleh manusia banyaknya sekitar 800.000 kali dalam setahun.

Kerusakan-kerusakan yang dakibatkan gempa bumi mulai dari magnitudo ke 5 atas, dan semakin bertambah menurut bertambanhnya magnitudo gempa.

Sebelum Skala Richter, umumnya ukuran yang digunakan adalah Skala Intensitas Gempa. Adapun skala intensitas gempa yang paling banyak digunakan adalah Skala Mercalli yang telah disempurnakan yang terbagi dalam 12 tingkatan. Skala tersebut disusun berdasarkan hasil penelitiannya di Amerika Serikat, dengan membagikan daftar pertanyaan kepada penduduk mengenai kerusakan yang diakibatkan oleh gempat bumi.

Daerah-daerah yang sering dilanda gempa di dunia adalah daerah yang masih dalam keadaan labil, daerah yang selalu bergerak dalam usaha mencari keseimbangan isostasi, khususnya daerah di sekitar jalur pegunungan Sirkum Pasifik dan Sirkum Maditerran. Dengan demikian Indonesia termasuk daerah yang sering dilanda gempa bumi.

Hampir 10% dari seluruh gempa di dunia terjadi di Indonesia, atau sekitar 400-500 kali tiap tahun. Untungnya kebanyakan berpusat di dasar laut sehingga tidak terlalu banyak membawa korban jiwa dan kerugian materi.

Apabila kita kembali menelusuri keadaan geologis Indonesia yang terletak di pertemuan Sirkum Pasifik dan Mediterran, tidaklah mengherankan bila kepulauan kita sering dilanda gempa.

Tekanan dari lempeng yang bergerak membuat Indonesia senantiasa dalam keadaan bergejolak. Lempeng Australia menjorok ke dalam lapisan litosfer, membentuk Zona subduksi di sebelah selatan Pulau Jawa dan sebelah barat Sumatera. Daerah di subduksi tersebut merupakan daerah pusat-pusat gempa bumi. Mercalli membuat skala berdasarkan tingkat kerusakan yang terjadi di permukaan tanah.

 

Tabel. Skala Mercalli tentang Kekuatan Gempa

Skala

Gejala di Permukaan Bumi

I

Tidak terasa, hanya tercatat oleh alat-alat peka seperti seismograf.

II

Dirasakan oleh orang yang sedang tidur, terutama tidur di lantai.

III

Terasa di dalam rumah namun belum diketahui kalau asalnya dari suatu gempa bumi. Getarannya seperti Truk ringan yang lewat.

IV

Terasa di dalam rumah seperti Truk berat yang lewat. Benda-benda yang digantung bergoyang, pintu dan jendela gemertak, benda-benda dari kaca gemerincing.

V

Sudah terasa oleh orang yang berada di luar rumah, orang yang tidur terbangun, air bergoyang, benda-benda yang digantungkan kurang baik akan jatuh, daun pintu bergoyang.

VI

Terasa oleh semua orang. Banyak orang lari ketakutan keluar rumah, yang sementara berjalan tidak stabil jalannya, barang-barang dari kaca pecah, benda-benda yang digantung berjatuhan.

VII

Orang terasa sulit untuk berdiri tegak, dapat dirasakan oleh sopir, tembok-tembok rumah runtuh.

VIII

Sulit mengemudikan mobil, cabang-cabang pohon bisa patah, rumah-rumah yang fondasinya kurang kuat bisa runtuh.

IX

Mengakibatkan kepanikan umum, tembok-tembok roboh, rumah-rumah tembok yang kuat mengalami kerusakan berat, pipa-pipa bawah tanah pecah.

X

Bangunan beton rusak, bendungan hancur, air danau bergolak.

XI

Pipa-pipa bawah tanah hancur total, banyak jembatan hancur, rel Kereta Api sampai bengkok-bengkok.

XII

Kerusakan total, batuan retak-retak, benda-benda terlempar ke udara.

 

Ramalan dan Prosteksi Terhadap Gempa Bumi

Sampai sekarang orang belum mampu meramalkan kejadian gempa bumi secara tepat. Kita bangga bahwa para pakar telah mempu menentukan daerah-daerah gempa bumi, namun meramalkan kapan terjadinya gempa, lokasi episentrumnya, serta besarnya adalah suatu masalah besar yang belum terpecahkan.

Beberapa kemajuan dalam hal peramalan gempa telah dicapai oleh negara-negara yang telah maju seperti Amerika Serikat, Jepang dan Uni Soviet seperti Robert Wallace dari “US Geological Survey National Center of Earthquake Research”, mengemukakan hasil penelitannya di daerah sekitar patahan San Andreas sbb: Gempa berskala 6 terjadi setiap tahun, skala 7 setiap 17 tahun dan sekitar 100 tahun untuk gempa yang berskala 8 pada skala Richter.

Pakar-pakar Jepang juga berhasil meramalkan gempa bumi yang terjadi di dekat Marsushiro. Menurut mereka sebelum terjadi gempa besar, beberapa bulan sebelumnya terjadi gempa-gempa kecil di daerah episentrum.

Jadi waktu peramalannya juga cukup lama, sekitar setahun lamanya mereka melakukan pengukuran-pengukuran perubahan berbagai gejala secara terus-menerus. Kemajuan berikutnya adalah ramalan gempa yang dilakukan dekat Riverside, California tahun 1974, dimana waktu yang dibutuhkan untuk peramalan hanya sekitar 3 bulan saja.

Meskipun nampaknya peramalan gempa semakin maju, namun masih sulit untuk menggunakannya sebagai dasar untuk menghindari bahaya yang ditimbulkannya. Bahaya/kerugiannya terletak pada dampak ekonomi dan psikologisnya. Katakanlah diramalkan bahwa tahun depan akan terjadi gempa hebat di Jakarta. Bila penduduk harus diungsikan semua, aktivitas ekonomi akan berhenti, sehingga begitu banyak kerugian yang akan diderita. Lebih jauh lagi adalah pengaruh psikologisnya selama menunggu tibanya gempa bumi tersebut.

Oleh karena itu lebih tepat menempuh cara-cara lain seperti merancang bangunan-bangunan yang tahan gempa, dam, jembatan dsb. Dalam hal ini hasil penelitian gempa bumi dapat membantu dalam merencanakannya.

Katakanlah misalnya berdasarkan data-data gempa yang tercatat di suatu daerah gempa terkuat yang pernah melanda daerah tersebut besarnya 7 pada skala Richter. Berdasarkan data-data tersebut para pakar perancang bangunan merencanakan bangunan tahan terhadap kekuatan gempa sebesar itu.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel